Harapan Rainforest Project: A letter from Scale Up and Forest Peoples Programme.
The letter follows a series of meetings between Scale Up, Forest Peoples Programme and representatives of PT REKI, most recently in May 2013.
PT REKI has confirmed that it respects the rights of indigenous peoples to give or withhold their free, prior and informed consent on developments that will affect them. However, on its website, Forest Peoples Programme notes that.
To date the Batin Sembilan have not had an effective voice in the management of the scheme and disputes have arisen between the communities and the project managers. Despite promises by project staff to seek a mediated solution based on respect for the peoples' prior rights, there has been little progress on the ground.
The letter is posted in full below, in English and Bahasa Indonesia. REDD-Monitor looks forward to posting PT REKI's reply.
5 June 2013
Mr. Effendy Sumardja
President Director
PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (PT REKI)
Dear Pak Effendy,This is a joint letter to you from two organisations who cooperate on activities in Indonesia to support the rights of forest peoples. Scale Up is based in Riau, and over the last eight years has assisted many communities affected by oil palm and pulpwood plantations to assert their rights, and to negotiate with project developers. Forest Peoples Programme has its headquarters in the UK, and over the last twenty years has cooperated with indigenous peoples and civil society groups in Indonesia on community rights issues ranging from mining and logging, to oil palm plantations and REDD projects.
Over the last two years, Scale Up and Forest Peoples Programme have met on several occasions with the staff of REKI, with Batin IX community members affected by REKI's operations and with NGOs in Jambi concerned about the social impacts of REKI's operations. In May last year, we convened a meeting in Jambi which brought together representatives from some of the affected communities with representatives from REKI, the provincial government and local NGOs. The meeting reviewed problems that have arisen between REKI and the Batin IX communities, and discussed possible ways to resolve these problems. For a brief report on the meeting, please see: http://bit.ly/11MwZqd
At that meeting, the representatives from the communities and from REKI agreed to meet again to prepare for mediated negotiations to resolve outstanding issues related to the rights of the communities to their customary territories, and the impact of REKI's license and restoration activities. Although a follow up meeting was held in September 2012, it did not lead to a mediation process. We understand that the communities that were involved in the June and September 2012 meetings are still concerned about REKI's impact on them, and are interested in reaching agreements with REKI through a process of mediated negotiations.
In May this year, Scale Up Director, Harry Oktavian, and FPP's policy advisor, Patrick Anderson, met with staff of PT. REKI in Jambi (Pak Julius, Yuda and Desri) and Jakarta (Worm Sorensen and Brad Sanders) and discussed the current relations between REKI and Batin IX communities. The PT REKI staff informed us that REKI does respect the rights of indigenous peoples to give or withhold their Free, Prior and Informed Consent (FPIC) to developments that will affect them, and that REKI is still interested in the use of mediated negotiations as a mechanism to assist affected communities and REKI to reach agreements. PT REKI staff further informed us that REKI and several of the communities are currently negotiating agreements that will define the rights and responsibilities of each party. We were concerned, however, to learn that the communities do not have ready access to legal advice, that they have not been assisted or accompanied in the negotiations by parties of their choice, and that no independent observers have been attending the negotiations. These conditions mean that any resulting agreements will not conform with the right of the communities to give or withhold their Free, Prior and Informed Consent.
Mr Sorensen informed us that his position as Executive Head of REKI is interim, and that his contract may not be extended beyond the middle of this year. We are therefore writing to you, as the President Director of REKI, to ask if REKI intends to respect the rights of the Batin IX communities affected by its operations, in particular their right to FPIC and their rights to the lands, territories and resources that they customarily own, occupy or otherwise use.
If REKI intends to respect the rights of the Batin IX communities, FPP and Scale Up would be willing to engage with REKI and the communities to assist in learning about each other's rights and responsibilities, and to consider ways to reach agreements which recognise and respect those rights and responsibilities. We will make the same offer of assistance to the affected Batin IX communities, and if both parties are interested, we would suggest that an assessment is made to look into the rights of Batin IX communities within the REKI concession, and how those rights are being affected by REKI's operations. We would recommend that the assessment follow the approach set out in the Whakatane Mechanism, which was developed by the IUCN to assess the situation for indigenous peoples in protected areas and, where people are negatively affected, to propose solutions (see http://whakatane-mechanism.org ).
We look forward to the possibility of collaboration with you towards the resolution of conflicts in PT REKI based on respect for rights and livelihoods of the Batin IX people.
Harry Oktavian
Scale UpPatrick Anderson
Forest Peoples Programme
Pekanbaru, 5 Juni 2013
Kepada:
Bapak Effendy Sumardja
President Director
PT. Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (PT. REKI)Bapak Effendy yang terhormat,
Surat ini berasal dari dua organisasi yang terlibat dalam kegiatan bersama untuk mendukung hak-hak masyarakat hutan di Indonesia. Scale Up yang berbasis di Riau dalam delapan tahun terakhir telah banyak membantu menegaskan hak-hak masyarakat yang terkena dampak akibat industri perkebunan kelapa sawit dan industri kertas, dan aktif mendorong penyelesaian konflik alternatif dengan para pengembang proyek. Forest Peoples Programme yang berkantor pusat di Inggris, selama dua puluh tahun terakhir telah pula bekerjasama dengan masyarakat adat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia terkait hak-hak masyarakat, mulai dari sektor pertambangan dan penebangan hutan hingga perkebunan kelapa sawit dan proyek REDD.
Selama dua tahun terakhir, Scale Up dan Forest Peoples Programme telah bertemu beberapa kali dengan staf PT. REKI, anggota masyarakat Batin IX yang terkena dampak, dan LSM di Jambi yang prihatin atas dampak sosial yang muncul akibat operasi PT. REKI tersebut. Pada bulan Mei tahun lalu, kami mengadakan pertemuan di Jambi yang menghadirkan perwakilan dari masyarakat, PT. REKI, pemerintah propinsi, dan LSM lokal. Agenda pertemuan membahas masalah yang timbul antara PT. REKI dan masyarakat Batin IX, dan mendiskusikan cara-cara terbaik untuk mengatasi masalah tersebut. Berita tentang pertemuan ini, dapat diakses di link berikut : http://bit.ly/11MwZqd
Pada pertemuan ini, perwakilan dari masyarakat dan dari PT. REKI sepakat untuk bertemu kembali dan mempersiapkan negosiasi dalam rangka membahas sejumlah permasalahan, antara lain : menyelesaikan masalah terkait hak-hak masyarakat atas wilayah adat mereka, membahas dampak dari Izin operasional PT. REKI, dan membahas kegiatan restorasi. Meskipun tindak lanjut pertemuan pada September 2012 lalu tidak mengarah pada proses mediasi, namun kami memahami bahwa masyarakat yang terlibat dalam pertemuan pada Juni dan September 2012 tersebut, masih dilanda kekhawatiran terhadap dampak dari operasional PT. REKI. Namun masyarakat tetap tertarik terhadap adanya peluang tercapai kesepakatan dengan PT. REKI melalui proses negosiasi dan mediasi.
Pada Mei tahun ini, Direktur Scale Up, Harry Oktavian, dan penasihat kebijakan FPP, Patrick Anderson, telah bertemu dengan staf PT. REKI di Jambi (Pak Julius, Yuda dan Desri) dan di Jakarta (Worm Sorensen dan Brad Sanders) dan membahas situasi hubungan yang terjadi saat ini antara PT. REKI dan masyarakat Batin IX. Staf PT. REKI menyampaikan kepada kami bahwa perusahaan menghormati hak-hak masyarakat adat atas dasar prinsip-prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), dan PT. REKI masih tetap ingin berdamai melalui proses negosiasi dan mediasi sebagai mekanisme untuk mencapai kesepakatan demi membantu masyarakat yang terkena dampak dari PT. REKI. Staf PT. REKI juga menyampaikan kepada kami bahwa PT. REKI dan beberapa kelompok masyarakat sedang dalam proses bernegosiasi untuk membuat perjanjian, di mana proses ini akan menentukan posisi hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Yang menjadi kekhawatiran kami adalah proses ini bisa berjalan secara tidak transparan dan seimbang karena masyarakat tidak memiliki akses untuk mendapatkan penasihat hukum, dan tidak ada pihak yang mendampingi dalam proses negosiasi, dan tidak ada pengamat independen yang menghadiri semua proses negosiasi tersebut. Jika kondisinya terjadi seperti ini, berarti setiap perjanjian yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan hak-hak masyarakat atas prinsip-prinsip untuk Keputusan, Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (FPIC).
Mr. Sorensen mengungkapkan kepada kami bahwa posisinya sebagai Kepala Eksekutif PT. REKI cuma untuk sementara waktu, dan perjanjian kontraknya juga tidak diperpanjang setelah pertengahan tahun ini. Oleh karena itu kami menulis surat ini kepada anda sebagai Presiden Direktur PT. REKI, dan kami ingin mempertanyakan "Apakah PT. REKI tetap menghormati hak-hak masyarakat Batin IX yang terkena dampak operasi perusahaan, khususnya terhadap hak-hak mereka atas prinsip-prinsip FPIC, dan hak-hak mereka atas tanah, wilayah dan sumber daya yang secara adat telah mereka miliki, tempati atau gunakan?"
Jika PT. REKI menghormati hak-hak masyarakat Batin IX, maka FPP dan Scale Up akan bersedia bekerjasama dengan PT. REKI beserta masyarakat dalam membantu untuk saling mempelajari tentang hak dan tanggungjawab masing-masing, dan mempertimbangkan cara-cara dalam mencapai berbagai persetujuan yang mengakui dan menghormati hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Kami akan membuat tawaran yang sama untuk membantu masyarakat Batin IX yang terkena dampak operasi. Jika kedua belah pihak tertarik, kami akan menyarankan dilakukannya sebuah penilaian ke dalam untuk melihat hak-hak masyarakat Batin IX dalam konsesi PT. REKI, dan bagaimana hak-hak itu bisa terkena dampak dari operasi REKI tersebut. Kami akan merekomendasikan bahwa penilaian mengikuti pendekatan yang diatur dalam Mekanisme Whakatane, sebuah pendekatan penilaian yang dikembangkan oleh IUCN untuk menilai bagaimana situasi masyarakat adat yang berada di sekitar kawasan lindung dan bagaimana situasi bagi mereka yang terkena oleh dampak-dampak negatif dari sebuah operasi. Untuk usulan dan solusi, kunjungi : http://whakatane-mechanism.org
Kami menunggu kabar dari Anda atas kemungkinan kerjasama yang bisa dijalin, demi menuju penyelesaian konflik pada PT. REKI, yang didasarkan atas penghormatan terhadap hak-hak dan sumber penghidupan masyarakat Batin IX.
Harry Oktavian
Scale UpPatrick Anderson
Forest Peoples Programme
PHOTO Credit: Dieter Hoffmann (RSPB).
Random image that no relation with the story above
Source Here
Random image credited to www.redd-monitor.org
